Dalam UU
Sisdiknas, menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis,
seperti beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dalam memenuhi kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU
Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas bahwa tujuan pendidikan
harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum berbasis
kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga
kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang
dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan
nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah
kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat
sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi
orang beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.
Mengingat
pendidikan idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran
dari suatu proses pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki
kompetensi yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikannya secara
mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan tercapai.
Perencanaan pembelajaran
Dalam
usaha menciptakan sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian
yang baik, proses panjang tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan
perkembangan dan kebutuhan peserta didik. Setiap jenjang dirancang
memiliki proses sesuai perkembangan dan kebutuhan peserta didik sehingga
ketidakseimbangan antara input yang diberikan dan kapasitas pemrosesan
dapat diminimalkan. Sebagai konsekuensi dari penjenjangan ini, tujuan
pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara. Pada dasarnya,
kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang berdasarkan
tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan menentukan
kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum
jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen, sebagai sistem
perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup empat hal.
Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik
(keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan
materi yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik
(masukan/standar isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang
diinginkan. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk
metodologi pembelajaran sebagai bagian dari standar proses) supaya
ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk pada diri peserta didik.
Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian tujuan
pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan
keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan konsep kurikulum
berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa
pemerintah salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena
yang perlu diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan
kurikulum (Mohammad Abduhzen, ”Urgensi Kurikulum 2013”, Kompas 21/2 dan
”Implementasi Pendidikan”, Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum
dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup
metodologi pembelajaran. Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak
akan terbentuk kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam
Kurikulum 2013, kompetensi lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD
dirumuskan sebagai ”memiliki (melalui mengamati, menanya, mencoba,
mengolah, menyaji, menalar, mencipta) kemampuan pikir dan tindak yang
produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan abstrak, sesuai yang
ditugaskan kepadanya.”
Kompetensi semacam ini tak akan tercapai
bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk metodologi
pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan dengan
baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai
suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan
di atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima
secara luas, kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21
serta penyiapan Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang
disampaikan Elin Driana, ”Gawat Darurat Pendidikan” (Kompas, 14/12/2012)
yang mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan
evaluasi terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tak ada
masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh,
hasil pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat
ini, untuk mata pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari
70 persen materi TIMSS yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII
SMP. Belum lagi rumusan kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan
praktik terbaik di dunia, ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan
tumpang tindih yang tak diperlukan pada beberapa materi mata pelajaran,
kecepatan pembelajaran yang tak selaras antarmata pelajaran, dangkalnya
materi, proses, dan penilaian pembelajaran, sehingga peserta didik
kurang dilatih bernalar dan berpikir.
Kompetensi inti
Kompetensi
lulusan jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana
pendidikan yang panjang untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori
manajemen mengajarkan, untuk memudahkan proses perencanaan dan
pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu dibagi-bagi jadi
beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana kurikulum tersebut
diterapkan.
Sejalan dengan UU, kompetensi inti ibarat anak tangga
yang harus ditapak peserta didik untuk sampai pada kompetensi lulusan
jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti meningkat seiring
meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan meningkatnya
kelas.
Melalui kompetensi inti, sebagai anak tangga menuju ke
kompetensi lulusan, integrasi vertikal antarkompetensi dasar dapat
dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari kelas ke kelas dapat
direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan
multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi. Untuk kemudahan
operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua,
yaitu sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang
beriman dan bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan
membentuk peserta didik yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan
bertanggung jawab.
Kompetensi inti bukan untuk diajarkan,
melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata pelajaran-mata
pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada
kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata
pelajaran yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus
berkontribusi terhadap pembentukan kompetensi inti.
Ibaratnya,
kompetensi inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus
dihasilkan dengan mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi
inti berperan sebagai integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan
pengertian ini, kompetensi inti adalah bebas dari mata pelajaran karena
tidak mewakili mata pelajaran tertentu. Kompetensi inti merupakan
kebutuhan kompetensi peserta didik, sedangkan mata pelajaran adalah
pasokan kompetensi dasar yang akan diserap peserta didik melalui proses
pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti. Bila pengertian
kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan ada
kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada
”Kompetensi Inti Bahasa Indonesia” tidak terdapat kompetensi yang
mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia karena memang tak ada yang
namanya kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana dipertanyakan Acep
Iwan Saidi, ”Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung
kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi
kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini
sesuai dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam
kelompok kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi
pengetahuan, dan kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi
dasar sedetail ini adalah untuk memastikan capaian pembelajaran tidak
berhenti sampai pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke
keterampilan, dan bermuara pada sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok
kompetensi inti sikap bukanlah untuk peserta didik karena kompetensi ini
tidak diajarkan, tidak dihapalkan, tidak diujikan, tapi sebagai
pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut
ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam materinya.
Apabila
konsep pembentukan kompetensi ini dipahami dapat mengurangi, bahkan
menghilangkan, kegelisahan yang disampaikan L Wilardjo dalam ”Yang Indah
dan yang Absurd” (Kompas, 22/2).
Kedudukan bahasa
Uraian
rumusan kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan,
terutama saat merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah),
tempat peserta didik mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk
dikuasai. Pada saat memulainya pun, peserta didik SD masih belum
terlatih berpikir abstrak. Dalam kondisi seperti inilah, maka terlebih
dulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan sumber-sumber
kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik yang
masih mulai belajar berpikir abstrak. Di sini peran bahasa menjadi
dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua
sumber kompetensi kepada peserta didik.
Usaha membentuk saluran
sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan
dengan menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran
lain. Dengan kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan
sebagai konteks dalam penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran
Bahasa Indonesia. Melalui pembelajaran tematik integratif dan perumusan
kompetensi inti, sebagai pengikat semua kompetensi dasar, pemaduan ini
akan dapat dengan mudah direalisasikan.
Dengan cara ini pula,
pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu
yang hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga
pembelajaran Bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta
didik. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta
didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara
logis dan sistematis. Mengatakan kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD,
yang memuat penyusunan teks untuk menjelaskan pemahaman peserta didik,
terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai mengada-ada (Acep Iwan Saidi,
”Petisi untuk Wapres”), sama saja dengan melupakan fungsi bahasa sebagai
pembawa kandungan ilmu pengetahuan.
Kurikulum 2013 adalah
kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan
karena desakan untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan 2006. Rumusannya berdasarkan sudut pandang yang berbeda
dengan kurikulum berbasis materi sehingga sangat dimungkinkan terjadi
perbedaan persepsi tentang bagaimana kurikulum seharusnya dirancang.
Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai kritik dari yang terbiasa
menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu, ada baiknya memahami
lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai koridor yang
telah digariskan UU Sisdiknas sebelum mengkritik.